Posts

Bukan Putri Salju

Saya tidak memiliki cermin ajaib. Namun, saya tahu bahwa wanita paling cantik di dunia ini memang bukan saya. Saya bukan putri salju . Penyihir itu tak perlu memberi saya apel beracun. Meski mereka bilang tiap wanita memiliki kecantikannya sendiri. Kemudian saya kembali bercermin. Mungkin mereka benar, mungkin.   Saya memang bukan putri salju yang didampingi tujuh kurcaci. Saya didampingi lebih dari tujuh orang, yang lebih dari kurcaci. Mereka membuat hidup saya lebih hidup. Saya tidak akan tertidur dalam waktu lama untuk menunggu kamu datang. Saya takut keliru antara maya dan nyata. Jangan biarkan saya terjebak dalam ruang ilusi. Saya belum memiliki petanya. Saya tak boleh tersesat. Saya tak bisa hidup terlalu lama dalam dunia itu. Saya ingin hidup dalam dunia kamu. Saya rasa lebih banyak kebahagiaannya. Tapi kelihatannya dunia itu masih ditutup rapat. Di mana kuncinya? Saya melihat senyum itu, begitu menawan. Lalu bayang-bayangmu tak lekas berhenti menari dalam khayal diri. S

Perjalanan Pendek BPAB GMC UI 2013

Image
Ada yang berbeda dengan alur penerimaan anggota baru GMC UI tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya, yaitu tidak adanya Camping Fun . Rangkaian perjalanan dalam BPAB diawali dengan perjalanan pendek yang lokasinya tidak asing lagi, Gegerbentang.  Jumat (1/3/2013), para calon anggota atau yang akrab disebut caang berkumpul di beka sekitar jam 5 sore untuk menimbang berat carrier mereka. Tak terasa adzan maghrib berkumandang, sholat harus segera dilaksanakan. Setelah semua selesai, kami berkumpul untuk melakukan pemanasan sebelum berangkat. Kali ini, caang tidak lagi mengisi form barang bawaan secara manual karena mereka telah mengisinya melalui dropbox BPAB. Selepas maghrib, kami berjalan menuju Stasiun Pondok Cina dengan carrier tertempel di punggung. Ini memang bukan kali pertama bagi para caang membawa carrier karena sebelumnya mereka pernah merasakannya ketika PSEG. KRL Commuter Line bertarif Rp 9.000 menjadi pilihan kami untuk bisa sampai di Stasiun Bogor. Meski harus

TOLONG.......tolong.

Tolong bantu aku melepaskannya. Apa yang kamu pakaikan di mataku? Seperti kacamata kuda. Aku hanya bisa melihatmu, di depanku. Aku bukan pelari profesional. Jangan berlari terlalu jauh. Aku mungkin tak mampu mengejarnya. Aku juga bukan pengemis yang terkapar di jalanan. Jangan membuatku meminta-minta. Aku mungkin akan memendamnya. Kamu bilang aku harus menjadi diriku sendiri. Aku mulai takut kehilangannya ketika kamu membuatnya tak berguna. Aku hanya manusia yang hidup dengan keinginan-keinginannya. Aku hanya manusia yang berusaha mewujudkan keinginan-keinginannya. Ya, aku hanya manusia, yang hanya mampu berencana. Mereka bilang aku terlalu banyak berharap. Hidup tanpa harapan apa jadinya? Aku hanya ingin tetap hidup. Banyak atau sedikit menurutku hanya ukuran kadarnya. Bukankah kita hanya menuai apa yang kita tanam? Apakah tak wajar jika aku menginginkan yang terbaik? Kurang ajar? Mengenai mataku, aku juga mulai heran. Semenjak mengenal kamu, mereka lebih sering berair.

Untuk Kamu

Untuk kamu yang baik hatinya, terima kasih telah menunjukkan padaku bagaimana seharusnya menjadi manusia berbudi pekerti. Kamu mengajarkanku untuk saling berbagi. Pengemis-pengemis itu selalu kamu beri sebagian hartamu saat bertemu di pinggir jalan. Sementara aku masih terlalu selektif memilih pengemis mana yang layak ku beri. Aku terlalu berburuk sangka. Untuk kamu yang sangat menjaga lisan, terima kasih telah mengajarkanku bagaimana seharusnya memelihara mulut ini. Kamu memegang teguh prinsip Nabi Muhammad SAW, “diam adalah emas”. Sementara aku masih sesuka hati berbicara, bahkan terkadang belum tersaring di otak tapi sudah terucap. Hingga lisan ini akhirnya menyakiti hati yang lain. Untuk kamu yang begitu indah sangat tersenyum, terima kasih telah memperlihatkanku keindahan yang indah. Karena senyuman itu, aku belajar untuk tersenyum supaya lebih indah. Menghadapi persoalan hidup ini dengan senyuman, membuatnya terasa lebih ringan. Kini, aku berusaha berbagi. Aku ingi

Untuk Apa Sih Mendaki Gunung?

Mendaki gunung kerap kali dipandang sinis oleh sebagian orang yang mungkin belum mengetahui sensasinya. “Untuk apa sih mendaki gunung? Lebih baik tidur di rumah!” Memang, mendaki gunung itu menghabiskan waktu, tapi masih lebih baik daripada dihabiskan untuk tidur. Terlalu banyak tidur hanya akan membuat bermimpi semakin lama. Ada istilah hidup itu berawal dari mimpi, tapi mendaki gunung akan membuat hidup tidak sekedar bermimpi. “Untuk apa sih mendaki gunung? Berbahaya!” Paradigma mereka mungkin masih menyangka bahwa gunung yang berisi hutan dan berbagai binatang yang hidup di dalamnya akan membahayakan raga. Padahal dalam kehidupan sebenarnya terdapat bahaya-bahaya yang sulit dibedakan sehingga akan lebih membahayakan, tidak hanya raga tapi juga jiwa. “Untuk apa sih mendaki gunung? Mencari masalah saja!” Masalah itu kan bukan hanya ada di gunung, di mana pun dan kapan pun masalah juga bisa saja ada. Lagi pula hidup ini kan pembelajaran atas semua masalah, bagaimana

Hidup dan Mendaki

Menurutku, hidup itu sama halnya dengan mendaki gunung. Dalam hidup pasti terdapat tujuan-tujuan yang harus dicapai. Begitu pun dengan mendaki gunung, menapakkan kaki di puncak merupakan tujuan tertinggi. Untuk mencapai tujuan tertinggi dibutuhkan tekad dan doa yang begitu kuat. Keputusasaan tidak akan membantu dan hanya membuang waktu. Dalam mendaki terdapat bermacam medan yang akan dilalui, kadang berbatu, kadang landai, kadang terjal, kadang licin. Dibutuhkan ketelitian dalam memilih jalan yang harus ditempuh. Menempuh jalan pintas bisa saja salah arah. Jalan yang salah akan mencelakakan pada akhirnya. Jalan yang benar mungkin saja melelahkan karena lebih jauh atau pun lebih sulit medannya. Namun, jalan yang benar akan membawakan keindahan yang terjadi pada waktu yang tepat. Begitu pun dalam hidup. Kadang kebahagiaan datang. Kadang pula cobaan yang datang silih berganti. Mungkin Tuhan hanya ingin tahu seberapa kuat tekad yang dibuat dan doa yang dipanjatkan. Tuhan juga memberi

Ayahku Hebat

Beruntungnya aku ditakdirkan menjadi anak dari ayahku. Beliau sosok yang hebat. Aku kagum padanya. Walau terkadang ketika ada sesuatu yang memancing emosinya, semua akan terkena getahnya. Tapi itu bagaikan pelengkap karena ayahku seorang manusia, bukan malaikat yang tak mampu meluapkan amarah.  Ayahku hebat, tak pernah mengeluh ketika aku memberikan daftar rencana pengeluaran kebutuhanku kepadanya. Sesegera mungkin beliau akan memberi sejumlah uang yang telah kurencanakan tersebut. Bahkan aku masih ditanya apakah uang pemberiannya itu cukup untuk memenuhi kebutuhanku. Aku terharu. Padahal saat aku merasa lelah, aku malas mengambilkannya segelas air untuk melepas dahaga ketika beliau baru pulang bekerja.  Suatu hari aku pernah pulang larut malam hingga kehabisan alat transportasi untuk pulang ke rumah. Jarak dari kampusku ke rumah cukup jauh, Depok - Bekasi. Namun ayahku dengan sigap menjemputku dengan sepeda motornya. Aku terharu. Padahal suatu waktu ayahku pernah menelpon