Posts

Sesederhana Itu

Apakah untuk memahami karakter, perlu ada air mata?  Atau seharusnya kubiarkan saja sesak di dada?  Karena membenci tak lantas mengubah semuanya menjadi baik.  Tapi menyampaikan kadang tak semudah yang di harap kan.  Daripada mengotori hati, menerima karakter sepertinya hal terbaik yang bisa dilakukan.  Seperti baterai yang masing-masing memiliki kutub positif dan negatif,  dan kedua kutub itu memang diperlukan.  Kamu hanya perlu menyesuaikan posisi baterai, supaya dapat menghidupkan jam dinding.  Sesederhana itu.

Jangan Biarkan Waktu Menjawab

"Biar waktu yang menjawab" Aku selalu terngiang kalimatmu itu. Entah mengapa aku merasa ada kebencian yang mengganjal setiap kali memoriku memunculkan momen tujuh tahun yang lalu itu. Kemanakah waktu? Kapan ia akan menjawab? Mengapa harus waktu yang menjawab? Tidak bisakah kau saja? Aku membutuhkanmu, tapi sepertinya kamu lebih membutuhkan waktu. Sepertinya Eropa membuatmu bahagia. Tujuh tahun berlalu bagai tujuh jam lalu. Ya, waktu begitu subyektif. Bagiku, tujuh tahun berjalan begitu lambat. Entah aku harus berterima kasih pada teknologi atau tidak karena telah membuat segalanya lebih mudah. Hingga aku mengetahui perkembanganmu melalui situs jejaring sosial. Aku sadar. Waktu takkan pernah bisa menjawab. Bahkan waktu begitu abstrak. Bukankan waktu hanya kesepakatan? Aku seharusnya menahanmu sore itu. Atau setidaknya menguraikan perasaanku. Tapi tujuh tahun lalu, aku begitu terpedaya oleh gengsi. Aku terlalu takut harga diriku terusik.

Awan Selalu Menawan

Awan putih di langit biru tampak begitu serasi. Membuat siapa pun yang memandangnya ingin tersenyum. Mereka tersenyum karena melihat paduan yang indah sehingga menyegarkan mata mereka. Aku pun tersenyum, bukan karena awan yang terlihat begitu memesona pada langit biru itu. Aku tersenyum, karena kekagumanku pada awan. Tak peduli seberapa sering matahari menguapkan air laut hingga membuatnya menampung bulir air kemudian mengubah putih yang dimilikinya perlahan kelabu. Tak peduli seberapa gigih angin bertiup hingga lambat laun mengubah bentuk dan letaknya. Namun awan selalu punya cara untuk tetap menawan. Setidaknya untuk mataku.

Grojogan Klenting Kuning

Image
Grojogan Klenting Kuning merupakan sebuah air terjun dengan ketinggian 8 meter yang berada di lereng barat Gunung Ungaran. Secara administratif, letaknya berada di Desa Kemawi, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang. Dari namanya, air terjun ini mengingatkan kita akan legenda Ande-ande Lumut, cerita mengenai seorang pangeran yang menyamar menjadi rakyat jelata dalam rangka pencariannya menemukan pendamping hidup. Pencariannya berakhir pada gadis yang berpenampilan kurang menarik dibanding ketiga kakak angkatnya, Klenting Merah, Klenting Hijau, dan Klenting Biru. Namun, Klenting Kuning justru memiliki daya tarik bagi Ande-ande Lumut. Aksesibilitas menuju Grojogan Klenting Kuning terbilang cukup sulit. Selain karena kondisi jalannya memiliki medan yang cukup sulit dengan bebatuan yang ditata kurang beraturan, belum ada angkutan umum untuk menuju lokasi ini. Sehingga, pengunjung harus menggunakan kendaraan pribadi. Fasilitas sekunder pun belum terlalu optimal, padahal grojogan ini be

Kosong

Aku bilang kosong.

Kesukaan Kita

Aku suka bintang. Karenanya aku sering menunggu malam datang. Bintang itu pemalu, lebih suka muncul saat orang-orang terlelap. Dia tidak datang setiap saat, hanya ketika langit gelap. Mungkin itu alasan mengapa aku menyukainya. Aku jadi punya celah waktu untuk merindukannya. Kamu suka senja. Karenanya kamu sering menunggu matahari tenggelam. Rona jingganya tak pernah bosan membuatmu terpesona. Senja tidak mucul setiap saat, hanya ketika matahari dan bulan bergiliran menghiasi langit. Mungkin itu alasan kamu menyukainya. Kamu jadi punya celah waktu untuk merindukannya. Meski senja dan bintang tidak   pernah bisa muncul bersamaan. Masihkah kamu ingat? Namaku Senja. Aku tidak pernah lupa namamu, Bintang. Kita bertemu saat kamu melangkah menuju masjid di ujung gang untuk sholat maghrib berjamaah. Kebetulan selain alkitab ada plester juga di dalam tasku, lumayan untuk mengurangi sakit di lutut mungil yang lecet karena tersandung itu. “Menangis tidak lantas membuat lukamu

Aku Bosan

“Tuhan, aku bosan menjadi ulat. Mengapa Kau menciptakan aku sebagai ulat? Ulat itu menjijikan. Banyak manusia yang berusaha menghindariku. Ulat itu mengerikan. Banyak manusia yang teriak histeris ketika melihatku bahkan ada yang berusaha melenyapkanku. Mengapa Kau menciptakan aku sebagai ulat? Aku bosan menjadi ulat.” Ah, lucu juga rupanya mengingat masa lalu. Benar juga, biar bagaimanapun, masa lalu tidak akan bisa dihapus begitu saja. Masa lalu juga merupakan bagian dari diri kita. Aku teringat pada masa ketika aku begitu kasar bertanya pada Tuhan mengapa Dia mencipatakan aku sebagai ulat. Waktu itu aku begitu membenci diriku. Aku merasa tidak berguna. Aku merasa tidak memiliki apa-apa. Namun, Tuhan selalu punya alasan. Waktu selalu memiliki peran dalam perubahan. Kini aku bisa membantu pembuahan pada bunga. Kini aku memiliki sayap. Aku bisa pergi kemana pun aku mau. Kini banyak manusia yang bahagia melihat kehadiranku. Mereka yang kala itu berteriak ketakutan, justru pa