Posts

Tak Sehalus Udara

Duhai daun, mengapa begitu pasrah ketika angin menghempaskanmu? Apa tanah terlihat lebih menyenangkan? Atau ranting membuatmu lelah? Duhai awan, mengapa tak ada perlawanan ketika angin menghembuskanmu? Apa menjadi kelabu tak membahagiakanmu? Atau bulir hujan begitu membebanimu? Duhai ombak, mengapa harus bergulung ketika angin memengaruhimu? Apa samudera tak lagi menarik? Atau pantai menjanjikanmu keindahan lain? Angin pernah membuat mataku perih. Sehingga mataku berair. Angin juga pernah membiaskan sengatan sang surya. Sehingga kulitku tak begitu terbakar. Mengapa harus ada satu unsur yang memiliki kesan ganda? Aku bingung harus menutup pintu atau membiarkan wajahku menikmati terpaanmu ketika kau datang, duhai angin. Mungkin seharusnya aku memiliki anemometer. Atau mungkin juga tidak.

Mati Satu Tumbuh Seribu

Mati satu tumbuh seribu? Tapi sepertinya aku tidak seserakah itu, aku tidak butuh seribu. Aku butuh satu.

Bukan Hanya Koin, Tapi Juga Bola

Cinta sepertinya memang salah satu topik yang takkan lekang oleh waktu. Tapi aku di sini masih saja menjadi si bodoh yang mencoba mencari makna cinta. Padahal cinta bukan sesuatu yang dipikirkan, melainkan yang dirasakan. Entah aku sedang memantapkan hati atau mencoba memungkiri. Karena sejatinya aku lebih suka menelan manis, meskipun pahit juga diperlukan. Alasannya sederhana, supaya seimbang. Semua yang berlebihan itu tidak baik, bukan? Ada yang bilang tidak ada pertemuan yang salah. Dan hidup hanyalah sebuah perjalanan supaya aku belajar. Meskipun aku belum paham betul, sejauh ini aku masih menyetujuinya. Memang ada beberapa yang akan menertawakan ketika harapan melambung terlalu tinggi, kemudian pecah karena tekanannya tidak sesuai. Tapi mungkin mereka yang tertawa hanya ingin menghibur, dengan cara yang begitu nyiyir. Toh, menangis atau tertawa hanya sekadar ekspresi yang belum tentu berlaku sebagai pencerminan rasa bagi semua orang. Bahkan seorang bayi perlu jatuh beberapa ka

Caramel Macchiato Kesukaanku

Image
Penyakit lupa ini rasanya sudah keterlaluan. Bahkan di musim hujan begini, bisa-bisanya aku tidak membawa payung. Karena enggan menari dalam hujan, kuputuskan untuk mampir ke kedai kopi sebelah kantor. Meski hujan, aku tetap setia pada caramel macchiato dingin. Mungkin mereka pikir aku aneh atau mati rasa, tapi biarlah yang penting aku suka. Bangku dekat jendela di pojok kedai merupakan spot favoritku. Di sini aku merasa aman, cukup berjarak dari keramaian. Duhai langit, apa yang membuatmu sedih hingga hujan turun begitu derasnya. Aku harus pulang. Rumahku jauh. Di luar jendela nampak sepasang kekasih berseragam putih abu-abu yang berlarian tanpa payung dengan bahagianya. Ah, masa putih abu-abu memang paling indah. Seketika kenangan itu terurai, memutarkan memori indah tentangnya. Venosika Kartikoputro, aku masih fasih menghapal namanya. Nama itu terasa begitu indah, meski aku belum tahu apa arti namanya. Aku tidak punya nyali sebesar itu untuk bertanya padanya. Dia adalah ketua O

Sesederhana Itu

Apakah untuk memahami karakter, perlu ada air mata?  Atau seharusnya kubiarkan saja sesak di dada?  Karena membenci tak lantas mengubah semuanya menjadi baik.  Tapi menyampaikan kadang tak semudah yang di harap kan.  Daripada mengotori hati, menerima karakter sepertinya hal terbaik yang bisa dilakukan.  Seperti baterai yang masing-masing memiliki kutub positif dan negatif,  dan kedua kutub itu memang diperlukan.  Kamu hanya perlu menyesuaikan posisi baterai, supaya dapat menghidupkan jam dinding.  Sesederhana itu.

Jangan Biarkan Waktu Menjawab

"Biar waktu yang menjawab" Aku selalu terngiang kalimatmu itu. Entah mengapa aku merasa ada kebencian yang mengganjal setiap kali memoriku memunculkan momen tujuh tahun yang lalu itu. Kemanakah waktu? Kapan ia akan menjawab? Mengapa harus waktu yang menjawab? Tidak bisakah kau saja? Aku membutuhkanmu, tapi sepertinya kamu lebih membutuhkan waktu. Sepertinya Eropa membuatmu bahagia. Tujuh tahun berlalu bagai tujuh jam lalu. Ya, waktu begitu subyektif. Bagiku, tujuh tahun berjalan begitu lambat. Entah aku harus berterima kasih pada teknologi atau tidak karena telah membuat segalanya lebih mudah. Hingga aku mengetahui perkembanganmu melalui situs jejaring sosial. Aku sadar. Waktu takkan pernah bisa menjawab. Bahkan waktu begitu abstrak. Bukankan waktu hanya kesepakatan? Aku seharusnya menahanmu sore itu. Atau setidaknya menguraikan perasaanku. Tapi tujuh tahun lalu, aku begitu terpedaya oleh gengsi. Aku terlalu takut harga diriku terusik.

Awan Selalu Menawan

Awan putih di langit biru tampak begitu serasi. Membuat siapa pun yang memandangnya ingin tersenyum. Mereka tersenyum karena melihat paduan yang indah sehingga menyegarkan mata mereka. Aku pun tersenyum, bukan karena awan yang terlihat begitu memesona pada langit biru itu. Aku tersenyum, karena kekagumanku pada awan. Tak peduli seberapa sering matahari menguapkan air laut hingga membuatnya menampung bulir air kemudian mengubah putih yang dimilikinya perlahan kelabu. Tak peduli seberapa gigih angin bertiup hingga lambat laun mengubah bentuk dan letaknya. Namun awan selalu punya cara untuk tetap menawan. Setidaknya untuk mataku.