Posts

Kamu Bukan Ayahku

Aku sudah dengan cantiknya menikmati kopi di kedai kesukaanku dan Mas Kusuma. Sore ini kami janjian bertemu, ada yang ingin kubicarakan dengannya jadi aku memintanya datang. Sengaja kupilih tempat di kedai kesukaan kami, barangkali memori tentang apa yang telah kami lakukan dapat menstimulus amigdala Mas Kusuma. Aku berencana memesankan americano untuknya, berharap kafein yang berkumpul dalam satu gelas itu dapat memicu dopamin Mas Kus sehingga aku hanya perlu menyampaikannya dengan anggun dan sedikit senyuman. Manusia memang pandai berencana. Jam masih menunjukkan pukul 16.30, kami janjian jam 5 sore. Aku sengaja datang lebih awal beberapa puluh menit. Rencananya supaya aku punya waktu untuk mengatur detak jantung dan pernapasanku. Lagi-lagi, mengatur rencana sepertinya akan jadi kegemaran baruku. Aku lihat lagi warna bibirku, masih terpoles rapih. Tenang saja, aku tidak menggunakan warna merah, hanya warna agak coral supaya terlihat lebih natural. Aku hanya tidak ingin Mas Kus berang

You're Always Be My King, Dad

"Nes, kok gak ada makanan di meja makan? Bapak lapar!" seru bapak dengan suaranya yang cukup mengagetkanku dari lamunan. Aku yang lebih senang menghabiskan waktu di dalam kamarku, segera menuju tempat tidur. Berpura-pura tidur sejauh ini adalah cara paling aman dari omelan bapak. Ya, laki-laki paruh abad itu adalah ayahku. Marah adalah hobi barunya semenjak ibu pergi. "Nes! Tidur saja kerjaanmu! Masak sesuatu untuk dimakan!" kali ini bapak nekat berteriak di kamarku. Ternyata berpura-pura tidur tidak selamanya aman. Aku bergegas dari kasur kesayanganku. Kuambil jaket denim kesukaanku. Aku melarikan diri dengan motor  biru andalanku. Hei, jangan salah sangka dulu. Aku bukan melarikan diri seperti adegan film di televisi. Aku tidak sepengecut itu untuk kabur dari rumah. Aku lebih kuat dari ibu, aku akan bertahan menghadapi bapak. Aku hanya keluar membeli makanan, buat apa juga aku menghabiskan waktu dan tenaga dan segala hal yang bisa terbuang untuk memasak. Aku tid

Bolehkah Aku Menyimpan Kenangan Ini?

Jumat malam di jalanan Jakarta merupakan salah satu sarana untuk melatih kesabaran. Aku tidak naik kereta karena sedang ada gangguan rel anjlok di Stasiun Jatinegara, jadi aku memilih naik motor. Jadilah perjalanan panjang dari kantor menuju rumahku harus kuhadapi dengan sabar. Entah sial atau berkah,di tengah perjalanan hujan ikut menemani perjalananku. Kuarahkan motorku ke tepi jalan untuk memakai jas hujan. Kemudian, lagi-lagi aku ingat momen indah itu. Ya, apalagi kalau bukan kenangan bersamamu. Waktu itu kamu menjemputku dengan motor merah pujaanmu. Bahkan banyak pula orang yang ikut memuja motormu. Jika saja kamu tahu, ada beberapa temanmu yang dengan nyinyir mengatakan bahwa aku beruntung bisa menjadi teman dekatmu, karena kamu memiliki motor merah itu. Aku tak habis pikir, apakah menurut mereka kamu tidak lebih berharga? Jika saja mereka tahu, aku tak pernah ikut memuja motor merah itu. Jika saja mereka tahu, pupil mataku membesar ketika aku melihatmu, bukan motor merah itu.

Tentang Sebuah Pengakuan

Gaun merah marun tanpa lengan menjadi pilihanku untuk makan malam bersama Mas Dirga. Tak lupa kupakai lipstik merah yang agak gelap milik salah satu merk lokal yang kualitasnya tidak mengecewakan. Sepatu hak tinggi warna hitam yang Mas Dirga hadiahkan untukku telah menempel dengan indah pada kakiku. Jika cermin di kamarku bisa bicara, mungkin dia akan muak dan mencaciku. Sejak satu jam lalu, kupandangi diriku depan cermin. Aku hanya ingin melihat refleksi diriku tampak samping kiri, tampak samping kanan, belakang, depan, segala arah. Setiap wanita pasti ingin terlihat cantik sempurna ketika kencan bukan? Terdengar suara klakson mobil Mas Dirga. Aku cek lagi seluruh aspek penampilanku untuk terakhir kalinya sebelum bertemu dengan Mas Dirga. Perfect. Mas Dirga sudah berdiri depan mobil sedan hitamnya dengan setelan jas dan sepatu hitam yang tak kalah mengkilap dari riasan rambutnya. Aku merasa menjadi perempuan paling bahagia malam ini. "Silakan tuan putri cantik kesayanganku.&q

Kepada Hujan, Tentang Aku yang Menunggumu di Kedai Sore Itu

Kemarin aku masih mencintai hujan. Menganggapnya sebagai suatu fenomena berharga yang Tuhan berikan. Kemarin. Sebelum pertemuan kita terhambat karena kaubilang hujan turun ketika kau hendak berangkat menuju tempat pertemuan kita. Aku memilih tempat di sudut kedai. Seperti biasa, dekat jendela. Sebenarnya bukan karena aku ingin menatap bulir-bulir hujan yang turun. Tapi supaya aku dapat lebih mudah menemukan kedatanganmu. Ada sepasang remaja melewati depan kedai sore itu. Dengan seragam putih abunya. Dengan tawa yang seakan membuat orang yang melihat mereka mengira betapa kebahagiaan sedang menyelimuti mereka. Dengan lari-lari kecil yang menambah sensasi bahagia. Aku salah satu orang yang melihat kebahagiaan itu. Kuambil ponselku. Mungkin akan aku gunakan gambar ini untuk postingan terbaruku dengan tambahan kutipan yang membuat beberapa orang merasa tersentuh. "Hujannya makin lebat, kalau 30 menit belum reda, mungkin kita atur pertemuan berikutnya." Pesan masuk darim

Jangan Ketuk Pintu

Aku masih terduduk di kursi kamarku. Rumah yang kutinggali tidak terlalu besar, namun merupakan tempat paling nyaman bagiku. Jarak kamarku dan pintu depan tidak terlalu jauh, karena itu aku dapat mendengar jika ada tamu yang hendak berkunjung. Duduk di depan cermin akhir-akhir ini menjadi aktivitas kesukaanku. Aku hanya ingin menikmati diriku, menatap lekat setiap yang kupunya. Kucoba tersenyum, cantik. Kucoba lihat dari berbagai sisi, ini masih diriku. Semoga aku mengingat setiap detilnya. Ada yang mengetuk pintu. Sekali. Aku masih duduk di kursi kamarku, depan cermin itu. Ketukan kedua. Aku mulai beranjak dari kursi, menuju pintu. Ketukan ketiga. Kusingkap sedikit tirai untuk melihat siapa yang datang. Seorang pemuda, berpakaian kasual, tangannya diletakkan di belakang, entah apa yang dibawanya. Setelah aku hendak membuka pintu, kemudian dia pergi. Mungkin aku terlalu lama membuka pintu. Mungkin dia punya kegiatan lain. Mungkin dia tidak benar-benar ingin berkunjung. Dan banyak

Gangguan Sinyal Dong, Please!

Sekitar pukul delapan malam bisa dibilang merupakan puncak arus balik para pejuang pencari nafkah. Tak heran, pada jam ini Stasiun Manggarai terlihat seperti lautan manusia. Terlebih, kereta yang menuju ke Bekasi, maupun Bogor. Padahal aku sudah menyiasati jam pulang kerjaku selepas maghrib, supaya tidak berdesakan di jalan raya menuju stasiun. But, yeah, that's a life....in Jakarta. Enjoy Jakarta!  Sebelum berjuang untuk bisa menaiki kereta Bekasi, kupikir ada baiknya membeli kopi dingin rasa alpukat kesukaanku. Setidaknya kafein dapat memasukkan adrenalin ke dalam sistem tubuhku supaya mendapat tambahan energi, dan juga memanipulasi produksi dopamin supaya aku merasa semua ini baik-baik saja. *ting-nong-ning-nong* " Commuter line tujuan Bekasi berangkat dari Stasiun Cikini, akan dipersiapkan masuk di peron 4." Kudengar pengumuman itu melalui pengeras suara. Aku beranjak dari tempatku menunggu, di peron 2. Karena di peron 4 sudah begitu banyak penumpang y