Tak Sehalus Udara
Duhai daun, mengapa begitu pasrah ketika angin menghempaskanmu? Apa tanah terlihat lebih menyenangkan? Atau ranting membuatmu lelah?
Duhai awan, mengapa tak ada perlawanan ketika angin menghembuskanmu? Apa menjadi kelabu tak membahagiakanmu? Atau bulir hujan begitu membebanimu?
Duhai ombak, mengapa harus bergulung ketika angin memengaruhimu? Apa samudera tak lagi menarik? Atau pantai menjanjikanmu keindahan lain?
Angin pernah membuat mataku perih. Sehingga mataku berair. Angin juga pernah membiaskan sengatan sang surya. Sehingga kulitku tak begitu terbakar. Mengapa harus ada satu unsur yang memiliki kesan ganda? Aku bingung harus menutup pintu atau membiarkan wajahku menikmati terpaanmu ketika kau datang, duhai angin. Mungkin seharusnya aku memiliki anemometer. Atau mungkin juga tidak.
Duhai awan, mengapa tak ada perlawanan ketika angin menghembuskanmu? Apa menjadi kelabu tak membahagiakanmu? Atau bulir hujan begitu membebanimu?
Duhai ombak, mengapa harus bergulung ketika angin memengaruhimu? Apa samudera tak lagi menarik? Atau pantai menjanjikanmu keindahan lain?
Angin pernah membuat mataku perih. Sehingga mataku berair. Angin juga pernah membiaskan sengatan sang surya. Sehingga kulitku tak begitu terbakar. Mengapa harus ada satu unsur yang memiliki kesan ganda? Aku bingung harus menutup pintu atau membiarkan wajahku menikmati terpaanmu ketika kau datang, duhai angin. Mungkin seharusnya aku memiliki anemometer. Atau mungkin juga tidak.
Comments
Post a Comment