Kamu Bukan Ayahku

Aku sudah dengan cantiknya menikmati kopi di kedai kesukaanku dan Mas Kusuma. Sore ini kami janjian bertemu, ada yang ingin kubicarakan dengannya jadi aku memintanya datang. Sengaja kupilih tempat di kedai kesukaan kami, barangkali memori tentang apa yang telah kami lakukan dapat menstimulus amigdala Mas Kusuma. Aku berencana memesankan americano untuknya, berharap kafein yang berkumpul dalam satu gelas itu dapat memicu dopamin Mas Kus sehingga aku hanya perlu menyampaikannya dengan anggun dan sedikit senyuman. Manusia memang pandai berencana.

Jam masih menunjukkan pukul 16.30, kami janjian jam 5 sore. Aku sengaja datang lebih awal beberapa puluh menit. Rencananya supaya aku punya waktu untuk mengatur detak jantung dan pernapasanku. Lagi-lagi, mengatur rencana sepertinya akan jadi kegemaran baruku. Aku lihat lagi warna bibirku, masih terpoles rapih. Tenang saja, aku tidak menggunakan warna merah, hanya warna agak coral supaya terlihat lebih natural. Aku hanya tidak ingin Mas Kus beranggapan bahwa aku hendak merayunya.

Masih ada beberapa puluh menit untuk bermain dengan kenangan. Pikiranku melayang pada waktu pertama kali aku bertemu dengannya. Waktu itu aku masih menjadi akuntan pemula. Kami bertemu untuk membicarakan mengenai perusahaan Mas Kus yang ingin melakukan pinjaman dana kepada bank tempatku bekerja. Pertemuan itu tentu saja bukan hanya ada aku dan Mas Kus, tapi juga ada bosku. Mas Kus begitu ramah dan gagah. Namun tetap saja itu bukan menjadi alasan mengapa aku melihatnya sebagai laki-laki. Lagipula saat itu aku masih berpacaran dengan Niko, anak band yang begitu digandrungi oleh para wanita remaja. Meskipun aku tak menyukai karena banyaknya wanita-wanita bergelantungan dan memuja nama Niko terus menerus, tapi kata Niko itu semua resiko profesinya. Blah.

Komunikasi kami terjalin cukup intensif. Awalnya memang membicarakan soal kerjaan. Hingga waktu menyisakan kesempatan bagi kami untuk bertemu, sekadar membicarakan apa yang terjadi dalam sehari, bagaimana pekerjaanku, bahkan tak canggung Mas Kus menanyakan perihal Niko. Mas Kus adalah orang pertama yang dapat kupercaya untuk mengetahui segala cerita dalam hidupku. Begitu pun sebaliknya, Mas Kus tak lagi canggung menceritakan kegagalan pernikahannya terdahulu. Mereka bercerai setelah terlalu banyak keributan setelah anak perempuannya meninggal karena tertabrak mobil yang pengemudinya sedang mabuk, saat bermain sepeda di luar halaman. Istrinya lupa mengunci pintu pagar, karena dia hendak mengangkat telepon, dari Mas Kus.

Aku ingat sekali mata Mas Kus begitu berlinang ketika menceritakan luka itu. Kenapa harus ada seseorang yang begitu mencintai anak perempuannya tapi malah kehilangan. Sedangkan ayahku yang telah diberikan anak perempuan hingga saat ini tetap saja selalu menginginkan anak lelaki karena menurutnya lelaki lebih dapat diandalkan. Itu sebabnya aku lebih memilih tinggal sendiri. Ah kenapa aku harus mengingat kenangan yang itu. Lebih baik kenangan yang lebih menyenangkan. Jika ada waktu senggang, Mas Kus selalu mengajakku makan atau sekadar menonton film di bioskop. Awalnya kukira kegiatan itu terlalu remaja, tapi ternyata menyenangkan jika dilakukan bersama seseorang yang spesial. Bahkan tak jarang Mas Kus mengajakku ke tempat bermain yang ada di mall. Dia tak segan-segan membeli banyak koin supaya aku bisa bermain sebanyak dan selama yang aku mau. Aku paling suka mesin pengambil boneka dan basket mini. Meskipun jarang sekali besi pencapit itu dapat mengamit boneka yang ada. Tapi selalu membuatku gemas dan penasaran. Ketika aku berhasil membuat setiap mesin permainan itu mengeluarkan banyak tiket, Mas Kus selalu mengelus kepalaku. Itu adalah bagian kesukaanku.

Tak jarang orang dengan usil memperhatikan keakraban kami. Usia kami memang dapat dibilang terpaut jauh, aku masih di seperempat abadku, sementara Mas Kus sudah hampir mencapai setengah abadnya, tapi dia masih sangat gagah. Mungkin orang-orang itu mengira aku adalah wanita haus uang yang sampai rela jalan dengan om-om demi dapat uang saku tambahan. Persetan dengan opini orang yang bahkan tidak tahu apa yang telah kulalui, sejauh ini aku bahagia. Lagipula umur kan hanya angka.

Oh, Mas Kus datang. Berselancar dalam memori masa lalu ternyata membuatku lupa waktu. Kusajikan senyum terindah yang kupunya.

"Kamu udah lama datangnya?", tanyanya dengan lembut. Inilah hal lain dalam dirinya yang kusuka.

"Lumayan, tapi kopiku masih banyak kok hehe. Oh iya, aku pesankan americano buat mas, gakpapa kan?"

"Iya. Jadi mau bicara apa, anak cantik?"

"Oke, aku tahu mungkin ini terdengar agak gila", kataku sambil menghirup nafas sedalam yang kubisa, ternyata benar menyatakan cinta itu tidak mudah "tapi aku tak bisa menahannya lagi. Kupikir gak ada salahnya mengatakannya pada mas. Aku rasa... aku mencintaimu mas."

Untung saja Mas Kus tidak punya kemampuan mendeteksi gerakan jantungku saat ini. Jika bisa, sepertinya dia akan khawatir kalau jantungku akan segera copot. Menebak apa yang ada dalam pikiran Mas Kus merupakan kemampuan yang masih belum kukuasai. Dia pandai sekali menekan ekspresinya dengan begitu tenang, dan senyumannya yang begitu hangat.

"Kalau anakku masih hidup, mungkin dia akan seumuran denganmu. Mungkin kalian akan menjadi teman baik. Kurasa anakku sedikit banyak memiliki kemiripan sifat denganmu. Aku juga yakin dia akan tumbuh dengan sangat cantik, persis sepertimu. Bertemu denganmu adalah suatu kebahagiaan bagiku. Aku seperti menemukan Kinanti. Aku hanya ingin menjagamu, seperti aku seharusnya bisa menjaga Kinanti dulu."

"Mas bukan ayahku. Aku bukan Kinanti."

Aku mengambil tasku dan beranjak dari tempat duduk di kedai itu. Semenjak saat itu aku berjanji untuk tidak akan mengunjungi kedai kopi itu lagi.

Comments

  1. Hhhmmm
    Baguss juga cerita nya
    Saya suka saya suka ��☺

    ReplyDelete
  2. Hhhmmm
    Baguss juga cerita nya
    Saya suka saya suka ��☺

    ReplyDelete
  3. Sedih sedih amat ceritanya.. :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review Series: Gadis Kretek (2023)

Review Film: Petualangan Sherina 2, Membangkitkan Memori Masa Kecil

Series Celebrity di Netflix