You're Always Be My King, Dad

"Nes, kok gak ada makanan di meja makan? Bapak lapar!" seru bapak dengan suaranya yang cukup mengagetkanku dari lamunan. Aku yang lebih senang menghabiskan waktu di dalam kamarku, segera menuju tempat tidur. Berpura-pura tidur sejauh ini adalah cara paling aman dari omelan bapak. Ya, laki-laki paruh abad itu adalah ayahku. Marah adalah hobi barunya semenjak ibu pergi.

"Nes! Tidur saja kerjaanmu! Masak sesuatu untuk dimakan!" kali ini bapak nekat berteriak di kamarku. Ternyata berpura-pura tidur tidak selamanya aman. Aku bergegas dari kasur kesayanganku. Kuambil jaket denim kesukaanku. Aku melarikan diri dengan motor  biru andalanku. Hei, jangan salah sangka dulu. Aku bukan melarikan diri seperti adegan film di televisi. Aku tidak sepengecut itu untuk kabur dari rumah. Aku lebih kuat dari ibu, aku akan bertahan menghadapi bapak. Aku hanya keluar membeli makanan, buat apa juga aku menghabiskan waktu dan tenaga dan segala hal yang bisa terbuang untuk memasak. Aku tidak suka memasak, ibu yang suka memasak.

***

"Nih pak, nasi goreng Mang Udin, gak pedas, pakai telur dadar. Kesukaan bapak kan? Sudah ya, aku mau tidur."

Bapak hanya diam. Tidak ada ucapan terima kasih keluar dari mulutnya. Aku tidak heran. Keluargaku memang sudah tak karuan semenjak usaha bapak bangkrut setahun lalu. Sebulan setelahnya ibuku pergi entah kemana. Mungkin mencari lelaki yang punya uang. Buat apa hidup dengan lelaki bangkrut yang kerjaannya hanya melamun dan mengeluh. Enam bulan setelah kepergiannya, ibu sempat menanyakan kabarku. Mengajakku tinggal bersamanya. Tapi minatku telah tiada, aku bahkan tak ingin tahu rumah siapa yang ditinggali ibu, bagaimana kabarnya, apakah dia bahagia. Bahagia... Hahaha. Tertawa itu katanya tanda bahagia ya?

Aku tidak menyalahkan tuhan karena telah membuat skenario seperti ini untuk keluargaku. Kini semuanya menjadi lucu. Atau memang hidupku hanya untuk lelucon-Nya. Entahlah, katanya hidup harus bahagia. Aku tidak lagi menyesal telah dilahirkan dalam keluarga mungil ini. Toh tidak ada keluarga yang sempurna.

Setidaknya aku masih dikasih kesempatan bekerja untuk memenuhi kebutuhan aku dan bapak. Bapak belum ada keinginan untuk bekerja. Biarlah. Aku jadi teringat kutipan itu "Suatu hari mungkin aku akan bertemu pangeranku, tapi kau akan selalu menjadi rajaku Pah". Ya, sampai kapanpun bapak akan selalu jadi raja, jadi aku hanya perlu selalu melayaninya kan? Memberi makan tiga kali sehari, mencuci pakaiannya, memastikannya tetap hidup.

***

Aku lalai. Seharusnya aku bisa memastikan bapak tetap hidup. Padahal aku sudah menyembunyikan segala jenis pisau dan benda tajam lainnya. Namun, aku lupa. Tali di dalam gudang belum aku sembunyikan. Saat aku pulang dari tempat kerja, kutemukan bapak sudah tergantung. Kaku. Lima detik, sepuluh detik, tiga puluh detik, aku termangu menatapnya.

"Itu... bapakku?" tanyaku dalam hati.

Setelah beberapa menit tersita, aku meraih ponselku. Aku harus menghubungi seseorang. Menghubungi polisi rasanya kurang masuk akal. Bapakku bukan selebriti atau orang terkenal. Kupilih nomor ibu, sambil duduk di depan bapak. Kuarahkan kamera ponselku ke bapak. Aku hanya mampu mengirim gambar bapak saat ini ke ibu. Lidahku kelu. Pipiku tak basah. Kemudian kutambahkan pesan singkat.

"Bu, bisa ke rumah sekarang?"

Comments

Popular posts from this blog

Review Series: Gadis Kretek (2023)

Review Film: Petualangan Sherina 2, Membangkitkan Memori Masa Kecil

Series Celebrity di Netflix