Cinta Via Daring
Akhir pekan merupakan waktu yang paling dinantikan
bagi hampir seluruh populasi yang berkegiatan sepanjang minggu, termasuk bagi
Amanda. Namun akhir pekan kali ini lebih spesial karena ia akan mengadakan
pertemuan dengan Wildan, lelaki awal di awal 30an yang ditemuinya secara
daring. Dewasa ini, perkembangan teknologi memang banyak dimanfaatkan
untuk berbagai hal yang dirasa memberi kemudahan, salah satunya adalah
menemukan cinta. Toh, cinta tak melulu soal dari mata turun ke hati. Dari
obrolan pun bisa masuk, setidaknya masuk ke hati Amanda, manusia seperempat
abad yang sedang dilanda asmara via daring. Jatuh cinta memang sangat mudah
bukan?
Salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Tebet
menjadi pilihan untuk tempat pertemuan. Selain banyak pilihan makanan, Tebet
dipilih karena tidak terlalu jauh dari rumah keduanya. Amanda mengusulkan
restoran Jepang karena ia begitu menyukai masakan Jepang. Wildan menyetujuinya,
dia tidak punya alergi pada suatu jenis makanan tertentu. Lagipula bagi Wildan
yang terpenting adalah bertemu Amanda. Meski mereka baru berkenalan sekitar
seminggu lalu, namun entah mengapa keduanya merasa harus bertemu. Mereka tidak
terlalu percaya pada istilah biar waktu yang menjawab rupanya. Menurutnya,
waktu tidak terlalu banyak bisa berbuat jika tokohnya tidak melakukan apapun.
Lagipula waktu kan hanya persepsi. Mereka sepakat untuk tidak bertukar foto
sebelum bertemu, supaya tidak ada ekspektasi berlebih yang biasanya hanya
menimbulkan kekecewaan dan merusak kemurnian... yaaaah mereka menyebutnya
cinta. Tapi entahlah.
Wildan telah tiba terlebih dulu di tempat yang
telah disepakati. Kemeja denim biru muda, celana chino cream, dan sepatu kulit
coklat tua andalannya merupakan paduan yang menurut Wildan paling baik. Sedikit
sentuhan pomade pada rambutnya menurut Wildan akan menambah daya tarik. Tidak
lupa parfum Hugo Boss yang telah disemprotkan ke beberapa bagian tubuhnya.
Ternyata tidak hanya wanita yang ingin tampil baik di depan wanita saat kencan
pertama.
Aku sudah di lokasi, meja nomor 5.
Amanda sudah membaca pesan itu di ponselnya, tapi
ia tidak segera membalas. Lagipula tidak ada pertanyaan yang harus dijawab. Dia
hanya perlu mendatangi Wildan. Meskipun pertemuan semacam ini bukan kali
pertama bagi Amanda, tapi tetap saja jantungnya mulai berdetak lebih cepat
seperti genderang mau perang, persis seperti di lagu. Matanya bergerilya ke
setiap sisi restoran itu. Meja nomor lima, meja nomor lima, meja nomor li... ah
itu dia. Langkah kakinya agak melambat, dia perlu mengatur nafas. Oh iya, dan senyuman
juga. Amanda sedikit merapikan kaos dan cardigan navy kesayangannya. Celana
jeans tidak perlu dirapikan. Dikerahkan jari-jarinya untuk merapikan rambutnya
yang tidak panjang.
“Wildan?” sapa Amanda dengan begitu hati-hati.
“Oh iya, maaf, siap…oh Amand…a?” tanya Wildan agak
ragu. Melihat penampilan Amanda yang berbeda jauh dari bayangannya. Bahkan
dadanya rata dan tonjolan di lehernya tak bisa disembunyikan.
“Iya. Itu nama di dunia maya. Boleh duduk?”
“Silakan. Jadi nama aslinya siapa?”
“Ananda Rizky.”
Wildan menampilkan senyum seadanya. Berbagai
reaksi mulai bersahut-sahutan dalam diri Wildan. Otaknya segera mengatur
strategi. Melarikan diri dengan alasan ke kamar mandi sepertinya terlalu
kentara. Berpura-pura ada panggilan masuk…sepertinya bisa dicoba. Wildan
mengerahkan kemampuan jemarinya untuk mengirim pesan singkat kepada temannya
untuk menelponnya dan mengabarkan sesuatu mendesak terjadi.
“Maaf, sebentar ya angkat telpon dulu. Halo, ada
apa? Oh serius? Kalo gitu gue ke sana sekarang ya.” Setelah mengakhiri
panggilan, Wildan mengatakan pada Amanda, hmm maksudnya Ananda. “Tadi temanku
ngabarin katanya Moli tertabrak mobil, aku harus segera kesana melihatnya, dia
pasti butuh dukungan. Maaf ya aku tinggal.”
“Moli itu siapa?”
“Anjingnya.”
Comments
Post a Comment