Kue Tiramisu Dingin Untukmu


Claudia masih berdiri di depan etalase toko kue yang direkomendasikan temannya karena selain enak, toko kue ini sudah buka sejak pagi hari. Berbagai macam kue terpampang dengan cantiknya. Memilih yang terbaik memang membutuhkan waktu. Pelayan toko kue dengan sabar menampilkan senyumnya supaya tetap terlihat ramah. Jika saja Claudia atau pengunjung lainnya tahu, pelayan toko kue bisa saja berusaha cukup keras untuk tetap tersenyum karena pekerjaannya menuntutnya demikian. Meski mungkin pelayan toko sedang memikirkan cara mendapatkan biaya tambahan untuk anak bayinya yang tiba-tiba saja demam tinggi beberapa hari ini. Tapi, ya, pelayan toko kue itu tetap harus tersenyum kepada setiap pengunjung. Dan Claudia masih saja belum bisa menentukan kue mana yang akan ia pilih.
Blackforest terlalu penuh dengan coklat. Meski banyak orang tidak bisa menolak godaan coklat, tapi bukan berarti semua orang bisa menerima coklat. Rainbow cake terlihat begitu menarik dengan variasi warnanya, tapi bisa saja beberapa orang terstigma dengan simbol pelangi. Ah, tiramisu. Kepada siapa pun yang telah dengan brilian menciptakan kue tiramisu, terima kasih karena membantu memberi solusi, setidaknya untuk Claudia. Terima kasih juga karena akhirnya pelayan toko kue itu tidak perlu lebih lama lagi menampilkan senyum formalitasnya.
***
Tempat ini tidak asing lagi bagi Claudia, setidaknya dari luar karena setiap pagi dia selalu berusaha melewati rumah berpagar hitam gaya minimalis itu. Kali ini, Claudia memberanikan diri melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Mencoba menemui penghuninya. Laki-laki yang dikenalkan sepupunya di pesta pernikahannya bulan lalu. Tidak lama setelah Claudia menekan tombol bel, penghuninya keluar dan membukakan pintu. Dengan kaos oblong dan celana pendek agak robek di bagian bawahnya, lelaki itu membukakan pintu. Bahkan gadis cantik berambut ikal sebahu dengan gincu merah muda yang telah rela membawakan kue ke depan pintu rumahnya tidak lantas mendapatkan senyumannya.
“Eh, ada apa? Oh iya, masuk aja” ajaknya tanpa kehangatan.
“Aku cuma mau ucapin selamat ulang tahun” katanya sambil menyodorkan kue tiramisu yang telah dipilihnya itu.
“Oh iya makasih ya, bentar ya mau mandi dulu.”
Kemudian dia melangkah dengan ringannya. Meninggalkan Claudia di ruang tamu dengan berbagai pertanyaan. Tapi berhubung Claudia hanya wanita biasa yang cenderung mengandalkan perasaannya, dan perasaannya sudah begitu terpaut pada lelaki yang entahlah pernah belajar sopan santun terhadap wanita atau tidak, Claudia tetap duduk di sofa abu-abu yang cukup memberi kenyamanan itu. Menunggu. Suara detak jarum jam menambah gerogi saja, pikir Claudia.
 Sepuluh menit kemudian lelaki itu keluar menghampiri Claudia. Sudah rapih dengan setelan khas kantoran, tapi tanpa dasi. Melihat kedatangan lelaki itu seolah melihat dokter yang baru selesai membedah hatinya yang tertancap busur panah ulah si cupid yang biasanya berperan di cerita-cerita cinta. Sepertinya Claudia terlalu banyak membaca fiksi.
“Sorry lama. Kamu naik apa tadi ke sini?”
“Ojek online. Kenapa?”
“Oh gitu, yaudah nih ongkos untuk nanti pulang naik taksi ya. Aku gak bisa antar, udah telat ngantor. Oh iya, makasih kuenya.”
Lagi-lagi, berhubung Claudia hanya wanita biasa, sontak saja pipinya menjadi basah. Bagaimana mungkin seorang lelaki memperlakukannya seburuk ini. Oh Tuhan, jika itu kepada gadis lain mungkin saja, tapi ini Claudia. Lihat saja, apa yang kurang dari gadis itu. Dan bahkan namanya Claudia, tipikal gadis cantik nan lembut yang tidak layak diperlakukan seperti itu. Lelaki itu pasti sudah gila. Untung saja sofa abu-abu itu masih mampu memberi kenyamanan. Tak ada kesempatan untuk menanyakan pada lelaki itu terbuat dari apakah hatinya. Claudia masih sibuk mengatur perasaannya. Beberapa pertanyaan kadangkala muncul tanpa menemukan jawaban, dibiarkan menggantung untuk kemudian menjadi hiasan semesta.

Comments

Popular posts from this blog

Review Series: Gadis Kretek (2023)

Review Film: Petualangan Sherina 2, Membangkitkan Memori Masa Kecil

Series Celebrity di Netflix