Tak Ada Cukang Taneuh, Santirah pun Jadi
Minggu pertama bulan Mei 2016 adalah minggu paling membahagiakan, pasalnya
terdapat dua hari bertanggal merah pada Kamis dan Jumat. Long Weekend! Terlalu
sayang jika hanya digunakan untuk berbaring di Kasur kamar (meskipun kegiatan
leyeh-leyeh di Kasur kamar juga membahagiakan). Bagi para pemburu liburan,
fenomena ini telah menjadi sasaran empuk untuk pergi ke luar kota bersama teman
atau keluarga. Gue memilih pergi ke Pangandaran bersama teman kampus.
Sebenarnya rencana awal kami adalah untuk mengunjungi Cukang Taneuh alias Green Canyon yang keindahannya tidak
diragukan lagi itu. Namun, karena gue datang terlambat di meeting point kami (3 jam sih, ampuuuun gan) sehingga kedatangan
kami di Pangandaran pun otomatis mengalami keterlambatan pula.
Rabu malam (4/5/2016).
Setelah semua kumpul di PGC Cililitan sekitar pukul 9 malam, kemudian
kami langsung menuju tempat parkir. Kami
memilih untuk menyewa mobil untuk moda transportasi dengan biaya sewa
450 ribu rupiah per harinya. Pertimbangannya, selain karena kereta api hanya
ada sampai Banjar, naik bis kemudian angkutan umum dirasa belum terlalu
fleksibel karena jam operasionalnya yang begitu terbatas, hanya sampai sore
hari. Berhubung kami pergi bersembilan,
jadi biaya sewa mobil dirasa tidak begitu memberatkan. Setelah berbicara
banyak hal, bercanda, tidur, bangun, menghabiskan cemilan, tidur lagi, bangun
lagi (kok jadi inget Mbah Surip ya hmm), never ending road rasanya,
sekitar 14 jam kemudian kami tiba juga di Pangandaran.
Kamis (5/5/2016). Tepat
adzan dzuhur berkumandang, kami sudah tiba di penginapan. Tentunya setelah
eksplorasi jalan alias nyasar hehehe. Karena ternyata pondok yang kami sewa ini
berada di dalam gang. Namanya Dona (ini nama pondoknya loh ya). Harga sewanya
pada musim libur adalah satujuta rupiah per Malam, dengan dua kamar tidur (bisa
buat berlima sekamar), dua kamar mandi TV, dispenser beserta dua galon air, dan
ada dapurnya. Suasananya nyaman karena tidak terletak di pinggir jalan utama
dekat pantai sehingga tidak terlalu bising. Selain bersih dan sejuk karena
difasilitasi pendingin ruangan, mamang pondoknya juga ramah dan tak segan
membagi informasi mengenai wisata Pangandaran. Berhubung kloter terakhir Green
Canyon adalah jam 1 siang dan sialnya kami sudah keabisan kuota
pemberangkatan, si mamang merekomendasikan dua pilihan alternatif wisata air
yaitu Citumang dan Santirah. Pasalnya kedua wisata tersebut tetap buka pada
hari Jumat. Bisa disimpulkan, durasi perjalanannya tidak selama Green Canyon,
yakni hingga 5 jam, sehingga masih bisa dilakukan sebelum dan sesudah Solat
Jumat. Kecewa pasti tak bisa dipungkiri dan harus ada yang disalahkan, yaitu
kedatangan gue yang terlambat luar biasa. Tapi marah bukan solusi. Teman-teman
gue memang luar biasa, mereka menyusun ulang rencana tanpa memusuhi gue
(terlihatnya begitu sih, hati orang siapa yang tau :p).
Godaan kasur yang begitu kuat
yang didukung pula oleh gravitasi, kami tak bisa melawan untuk tidak merebahkan
tubuh. Apalagi setelah 14 jam duduk dengan berbagai posisi yang diusahakan
nyaman. Setelah ashar dan bersih-bersih diri, kami ingin mencicipi Pangandaran
Sunset. Sayangnya karena kesorean, waktu sudah menunjukan sekitar pukul 5.30pm,
kami hanya bisa foto bersama pasir pantai, orang-orang, dan tentunya air laut.
Oh senja, mengapa awan menghalangi perjumpaan kita (#eaaaa). Akhirnya kami
berfoto-foto ria saja. Bahagia itu diciptakan juga toh?
Kiri-Kanan: Foto Gaul - Foto Kegaulan - Foto Lumayan Gaul |
Malam telah datang dan siang
telah berlalu (ada di doa abis adzan), kami memutuskan untuk menikmati makan
seafood. Yeay! Makan seafood di Pantai Pangandaran ini sistemnya adalah kiloan.
Konsumen memilih sendiri lauk yang akan disantap, sejak belum dimasak. Jangan
kaget jika antrian membludak, apalagi ini long weekend. Memang benar istilah
harga berbanding lurus dengan kualitas. Meski merogoh kocek yang bikin
wisatawan on budget kayak kami menganga, rasa masakannya pun membuatnya kami
menganga (ternyata menganga pun punya
makna ganda). Tidak mengecewakan. Bahagia adalah ketika bisa merebahkan tubuh
setelah memanjakan perut. Padahal kebiasaan ini cenderung buruk. Menurut mitos
orang tua jaman dulu sih, hati-hati ususnya melebar jika tidur setelah makan.
Jumat (6/5/2016).
Berdasarkan hasil diskusi, maka diputuskan bahwa kami memilih mengunjungi
Santirah setelah Jumatan. Paginya, kami sempatkan berkunjung ke Cagar Alam
Pananjung yang tidak terlalu jauh dari tempat menginap. Dengan harga tiket
masuk Rp 21.000 per orang, pengunjung bisa menikmati kumpulan makhluk hijau
yang tertata rapih (pohon gan maksudnya). Selain pepohonan juga banyak binatang yang dibiarkan berkeliaran begitu saja. Terdapat beberapa goa di cagar alam ini, mulai dari goa yang katanya bisa minta jodoh, goa yang isinya kuburan sepupunya Nyi Roro Kidul, dan semacamnya. Sebelum masuk goa, jangan lupa cekrek dulu hehe.
Goanya deket pantai, jadi teteeeup sun glasses mah |
Kita mah apa atuh, udah cetaarr fotonya di depan Goa Keramat |
Lagi-lagi waktu yang menentukan perpisahan kami dengan kunjungan di Cagar Alam Pananjung ini. berhubung para lelaki harus melaksanakan ibadah rutin jumatnya, kami harus segera menuju lokasi kedua, Santirah. Waktu tempuh yang diperlukan untuk mencapai Santirah sekitar 1,5 jam dari Pantai Pangandaran.
***
Sambil menunggu mereka solat, kami, ciwi-ciwi, makan dulu. Mie rebus telur adalah pilihan menggoda (tentunya dengan irisan cabe rawit sluuurrp). Untuk dessert, kami memilih pisang kremes coklat dan sosis bakar. Masing-masing harganya Rp 15.000, jangan kaget dulu gan, pisangnya isi 4 biji sedangkan sosis bakarnya panjaaaaaang banget, yaaa worth it lah yaa.
Untuk menikmati paket River Tubing Santirah ada beberapa pilihan, kami memilih paket yang Rp 150.000 per orang dengan fasilitas pelampung, ban, guide, dan makan nasi liwet. Setelah semua siap, saatnya menikmati pesona Santirah.
But first, let us take a shoot |
My trip, my kecebur...(ehh).
Tak ada Cukang Taneuh, Santirah pun jadi :p |
Comments
Post a Comment