Tentang Sebuah Pengakuan

Gaun merah marun tanpa lengan menjadi pilihanku untuk makan malam bersama Mas Dirga. Tak lupa kupakai lipstik merah yang agak gelap milik salah satu merk lokal yang kualitasnya tidak mengecewakan. Sepatu hak tinggi warna hitam yang Mas Dirga hadiahkan untukku telah menempel dengan indah pada kakiku. Jika cermin di kamarku bisa bicara, mungkin dia akan muak dan mencaciku. Sejak satu jam lalu, kupandangi diriku depan cermin. Aku hanya ingin melihat refleksi diriku tampak samping kiri, tampak samping kanan, belakang, depan, segala arah. Setiap wanita pasti ingin terlihat cantik sempurna ketika kencan bukan?

Terdengar suara klakson mobil Mas Dirga. Aku cek lagi seluruh aspek penampilanku untuk terakhir kalinya sebelum bertemu dengan Mas Dirga. Perfect. Mas Dirga sudah berdiri depan mobil sedan hitamnya dengan setelan jas dan sepatu hitam yang tak kalah mengkilap dari riasan rambutnya. Aku merasa menjadi perempuan paling bahagia malam ini.

"Silakan tuan putri cantik kesayanganku." katanya sambil membukakan pintu mobil untukku, lengkap dengan senyumnya yang selalu menjadi favoritku. Kuangkat sedikit gaunku sambil tersenyum sebaik mungkin untuk membalasnya.

"Kenapa kamu harus begini?" katanya ketika duduk di kursi kemudi.

"Kenapa mas? Ada yang salah ya sama penampilanku?"

"Kenapa kamu harus secantik ini? Aku jadi cinta banget. Gimana dong?"

Mas Dirga selalu mengetahui caranya memperlakukan perempuan dengan sangat baik. Mustahil jika ada perempuan yang tidak bahagia diperlakukan sesempurna ini.

***

Kami tiba di restoran Perancis di bilangan MH Thamrin. Entah kenapa jantungku mulai berdebar. Padahal ini bukan kencan pertama kami. Semoga saja tidak ada cincin terselip dalam makanan yang kupesan. Ah, berkhayal memang menyenangkan.

Mas Dirga menatap setiap detil diriku begitu lekat. Aku sempat salah tingkah, kucoba tutupi dengan tersenyum.  Kutatap matanya. Belum ada percakapan melalui kata di antara kami. Hingga pelayan datang mengantarkan pesanan. The Foie Gras Veloute, Steak Au Poivre, Louis Latour, Chateau Lavison, semua pesanan sudah lengkap. Tidak ada cincin rupanya. Aku terlalu banyak menonton serial drama.

"Kamu cantik sekali, aku suka."

"Ih kamu, itu kan lagu."
 
Kulihat dia merogoh saku jasnya. Pantas saja tidak terselip dalam pesanan makananku, ternyata dia menyimpan cincin di sakunya. Tidak perlu ditanyakan bagaimana hebatnya debaran jantungku. Aku berusaha menjaganya agar tetap berada di tempatnya.

"Aku serius cinta sama kamu, aku ingin kita menikah. Aku sudah bertanya pada istriku, dan dia menyetujuinya. Bagaimana?"

Semoga jantungku tetap berfungsi. Aku telah menghabiskan setahun waktuku mengencani suami orang. Aku telah menghabiskan setahun waktuku dengan bahagia bersama lelaki yang kini memintaku menjadi istrinya, yang kedua. Aku perempuan paling berbahagia karena telah diperlakukan sesempurna itu. Sialnya, kebahagiaan tak tahu caranya jaga jarak dengan kekecewaan.






Comments

  1. Wow. Singkat mengejutkan. Ritme ceritanya oke punya. keren.

    ReplyDelete
  2. Khayalan gue langsung runtuh ketika kalimat "istriku sudah setuju" kamfret bgt tih matahin khayalan pake alur yg tiba2 drop. Keren2 👍👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jangan kebanyakan ngayal makanya hahaha

      Delete
  3. Keren kak,, tebakan saya tntang akhir ceritanya melesat,, 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. emang tebakanmu tentang endingnya gimana? :D

      Delete
  4. Ini baru sampai sini kah atau ada sambungannya lagi tih?? Keren loh... What the title??

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih udah mau baca hehehe. ini cerpen aja, jadi memang sampe sini aja gitu hehe

      Delete
  5. Judulnya tentang sebuah pengakuan tih???cool.. Saya suka saya suka.. 😉

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review Series: Gadis Kretek (2023)

Review Film: Petualangan Sherina 2, Membangkitkan Memori Masa Kecil

Series Celebrity di Netflix