Bajingan Pahlawanku

Selain senja, hujan memang biasa dijadikan media untuk membantu mereflesikan diri. Aku adalah salah satu dari sekian juta orang yang menggunakan hujan untuk berselancar dalam memoriku. Dua tahun ini, hidupku tak pernah masuk dalam angan-anganku dulu. Benar juga, hidup penuh kejutan. Aku cukup terkejut dibuatnya. Dua tahun lalu, duduk-duduk santai di sofa mewah sambil menikmati secangkir kopi yang aromanya dapat merelaksasi seperti ini tidak pernah sebersit pun mampir dalam imajiku. Dua tahun lalu, mereka menganggapku seperti sampah. Kumal, bau, tidak terawat.  Tapi itu semua sudah berlalu. Dua tahun lalu, jika saja aku tidak bertemu dengan Mas Ridwan, mungkin mereka bisa saja membuangku ke Bantar Gebang atau tempat pembuangan sampah lainnya.

Kau tahu? Mereka bilang Mas Ridwan itu tak lebih dari bajingan yang hanya ingin memanfaatkanku. Kau tahu? Bagiku, Mas Ridwan adalah pahlawanku. Mereka hanya tidak tahu keseluruhan ceritanya. Mereka hanya melihat apa yang ingin mereka lihat. Mereka hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar. Perbedaan usia kami memang cukup jauh. Usiaku adalah separuh usianya. Di kehidupan normal, ia lebih pantas kupanggil ayah dibanding mas. Bahkan ia pun memiliki anak laki-laki yang seusia denganku. Namun, yang aku butuhkan bukan usia. Aku butuh uang. Mas Ridwan punya uang yang kubutuhkan. 

Lihatlah hidupku sekarang. Kepalaku tak perlu sesakit dulu ketika aku hendak membeli sesuatu, alat makeup, tas bermerk, sepatu cantik, baju yang sesuai tren, apalagi ponsel keluaran baru. Aku bahkan bisa merapihkan kuburan ibu hingga memiliki lantai berkeramik dan berpagar besi, supaya tak hilang karena diinjak-injak. Setidaknya, ibu hanya merasa diinjak-injak ketika ia masih hidup. Bapakku? Ah, tak perlu memikirkan sesuatu yang tak nyata. Ibu juga tak pernah sedikit pun menceritakan sosoknya.

Waktu itu, kukira pertemuanku dengan Mas Ridwan adalah keajaiban yang ingin tuhan bagi padaku. Seolah tuhan sudah merasa aku cukup merasa tersiksa dengan semua yang terjadi dalam hidupku hingga ia mendatangkan lelaki itu. Mengasihiku, memanjakanku, hingga aku merasa jatuh cinta. Sebenarnya aku bersedia melakukan apa saja yang ia inginkan. Seluruhnya. Namun, selama dua tahun ini, yang ia lakukan hanya memberiku hadiah bertubi-tubi. Menemaniku ketika tak ada seorang pun yang memiliki telinga sekuat itu untung mendengar keluhanku. Menyediakan pundak ternyaman untuk tempatku menangis hingga tak ada lagi suara yang mampu keluar. Tak pernah sekalipun ia meminta dariku, selain senyum yang harus tetap menghiasi wajahku.

Sayangnya, semua keajaiban itu hanya berlangsung selama dua tahun. Dua tahun ini ia menyimpannya sendiri. Hingga rasanya dadanya seperti ingin meledak. Akhirnya ia tumpahkan seluruhnya padaku, tadi. Sebelum hujan turun deras. Di sofa ini, di cafe tempat kesukaan kami menghabiskan waktu ini. 

"Namira, aku mencintaimu. Sama seperti aku mencintai Rinaldi. Akan kulakukan apapun untuk membuat kalian tersenyum, bahagia. Maaf dulu aku sempat menyakiti ibumu. Meninggalkannya begitu saja ketika tahu bahwa ia mengandungmu. Meninggalkannya demi hidup bersama perempuan kaya raya. Aku tahu ada lelaki yang bersedia menikahinya. Aku pun tahu lelaki itu ternyata hanya bisa melukai ibumu karena ia telah mengandung anak dari lelaki lain. Aku ini bajingan. Namun ketika aku tahu, kau masih bernafas, aku ingin membuatmu tetap hidup. Hanya saja, dua tahun lalu aku belum siap mengatakan semua ini. Tolong jangan paksa aku untuk menikahimu karena itu takkan terjadi. Jangan pergi setelah semua ini. Kecuali kamu tetap merasa bahagia."

Selain melamun, apa lagi yang kauharap dapat kulakukan setelah mendengar semua uraian itu dari mulutnya? Jika saja ia tak pernah mengatakan semua itu. Jika saja aku tak tergila-gila pada uang yang ditawarkan. Mungkin bukan hanya tubuhku saja yang tetap hidup. Ternyata tidak semua kebenaran itu menyenangkan untuk diketahui. Meski bagaimana pun, bajingan itu tetap akan menjadi pahlawanku. 

Comments

  1. Akhir yg nggak ketebak, di awal seolah pembaca dibuat berfikir si lelaki tua itu baikin si tokoh aku demi memenuhi hasrat biologisnya. Pemilihan kata "Bajingan" untuk karakter si lelaki paruh baya itu juga ternyata bisa luas bgt persepsinya, jadi kelihatan nggak asal pilih kata. Meskipun di awal saya sempet ngerasa "kasar banget sih judulnya" but Good job��

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review Film: Petualangan Sherina 2, Membangkitkan Memori Masa Kecil

Review Series: Gadis Kretek (2023)

Series Celebrity di Netflix