Ilusi Cinta

Akhir pekan belakang ini merupakan waktu-waktu yang digunakan untuk mengunjungi resepsi pernikahan kawan. Sabtu nanti telah datang undangan pernikahan dari kawan kala sekolah menengah pertama dahulu. Undangannya bagus, dengan paduan warna biru tua dan silver. Mirip dengan undangan impianku yang pernah kuceritakan pada mempelai wanitanya. Di bagian depan tertulis Sarah dan Adam. Aku mengenal keduanya. Sarah adalah sahabatku. Setidaknya aku pernah menganggapnya demikian.

Meski hampir sewindu belakangan ini kami tak lagi intens berkomunikasi karena dulu aku harus pindah ke Malang. Ayahku dipindahtugaskan ke Malang sehingga aku dan kedua orang tuaku harus tinggal di Malang. Aku bahkan tak sempat ikut acara perpisahan SMP. Sarah sempat sedih. Aku pun sedih. Awalnya kami masih berkirim pesan. Berbagi cerita tentang apa saja yang terjadi dengan hidupnya di Jakarta dan hidupku di Malang. Hingga akhirnya Sarah bercerita bahwa ia dan Adam tengah berpacaran. Saat itu kami baru menjadi siswa putih abu-abu. Saat itu aku belum bisa melupakan Adam karena dia memutuskan hubungan denganku dengan alasan tidak bisa berhubungan jarak jauh. Saat itu aku kira cinta pertama akan berakhir bahagia. Pantas saja.

Tentu saja aku menangis. Tapi kini aku punya sekolah baru, teman-teman baru, hidup baru. Awal memang selalu menjadi bagian paling sulit. Aku harus menyesuaikan dengan cukup banyak hal di  Malang, terutama bahasa. Meski pindah tempat tinggal bukanlah kali pertama dalam hidupku, tetap saja aku tidak terlalu mahir beradaptasi dalam waktu singkat. Semester pertama di SMA adalah masa paling sulit rasanya bila kuingat kembali. Namun, semua menjadi tidak terasa terlalu sulit saat Bimo hadir dalam hidupku. Dia selalu mampu hadir kapan pun aku membutuhkannya. Dia selalu tahu caranya menyenangkan hatiku. Dia selalu menjadi alasanku tetap semangat menjalani masa putih abu-abu.

Tapi hidup terlalu dinamis, dan manusia terlalu lucu. Begitu pula Bimo. Sumpah Bimo itu lucu! Biar kuceritakan sedikit kelucuannya. Ia adalah lelaki yang berhasil membuka mataku. Kala itu, ketika aku sudah merasa bahwa kami memiliki banyak kecocokan, ketika aku sudah merasa begitu nyaman bersamanya, ketika itu pula aku baru mengetahui bahwa Bimo telah memiliki kekasih. Katanya beda sekolah. Entahlah. Sepertinya semesta sedang memperingatkanku untuk menjalani tugasku sebagai pelajar, yaitu belajar. Masih banyak yang bisa dilakukan oleh seorang pelajar di SMA, bahkan banyak sekali pilihan kegiatan ekstrakurikuler.

Hidup mulai terasa lebih teratur. Pikiranku sudah tak lagi terfokus pada Bimo. Hingga kemudian Resti, teman baikku di SMA yang mengetahui kisahku dengan Bimo mengabarkan sesuatu yang cukup menggangguku kembali.

"Anjaniiiiiii, yaampuun kamu tau gak siiiii?" katanya heboh menuju kursiku di kelas ketika jam istirahat.

"Ada apa sih?" tanyaku heran.

Resti mendekatkan tubuhnya denganku seraya membisikkanku, "Bimo putus sama pacarnya!"

Sejujurnya aku tak tahu harus merasa senang, sedih, terkejut, atau kecewa. Aku hanya melihat ke arah Resti yang sedang senyum-senyum.  Tak lama kemudian ponselku bergetar, ada pesan masuk dari Bimo.

Anjani, ntar balik jam berapa? Balik bareng yuk. Aku tunggu di parkiran ya.
***
Tentu saja aku belum mampu menolak ajakan Bimo. Apalagi setelah Resti bilang mereka telah putus. Aku tidak perlu merasa bersalah lagi. Kami melaju dengan sepeda motor matic milik Bimo. Ia bilang ingin mengajakku ke suatu tempat, tapi masih rahasia katanya. 

Bimo menghentikan sepeda motornya di depan sebuah rumah berpagar hitam. Kawasan perumahannya terbilang sepi, padahal rasanya waktu itu masih sore. Perasaanku bilang ini adalah rumah Bimo. Memang rasanya Bimo sempat cerita bahwa ia terbiasa tinggal sendiri karena orang tuanya sibuk bekerja. Tidak terlalu jauh berbeda dengan keadaan orang tuaku. Mungkin ini mengapa aku merasa kami sama. Sama-sama bisa merasakan rasanya sendirian dan ingin punya teman. 

Setelah aku masuk, Bimo mengunci pintu. Kemudian ia menyatakan bahwa ia ingin menjadi kekasihku. Aku yang saat itu masih begitu naif, menerima penawarannya. Aku begitu menyukainya. Kami resmi berpacaran. Mulai dari sini, Bimo kambuh lagi menjadi lucu. Lucu sekali dia! Entah berapa banyak minuman yang ia tenggak, entah dirasuki setan apa, Bimo terlihat kehilangan akal sehat. Aku terlalu lemah untuk melakukan perlawanan. Postur tubuhnya di luar kapasitasku. Aku hanya mampu menangis, apalagi setelah Bimo mengucapkan terima kasih, sambil tersenyum. 

***

Semenjak kejadian itu, Bimo jadi ingin dihadiahi kado yang sama di setiap perayaan bulanan di hari jadian kami, dengan berbagai variasi. Aku ini kelincinya. Memasuki semester awal usia pacaran kami, Bimo mulai sulit dihubungi. Mulai banyak sekali alasan ketika aku mengajaknya bertemu. Hingga lagi-lagi Resti menyampaikan kabar melalui aplikasi pesan. Sebuah gambar. Bimo sedang bergandengan tangan dengan perempuan lain di Malang Plaza. Tak cukup dengan gambar, Resti kemudian mengirimkan lagi video Bimo dan perempuan itu sedang makan berdua di salah satu restoran. Mesra sekali.

Ingin rasanya kulemparkan ponsel ini hingga hancur. Agar aku tak sendirian yang menjadi keping-keping. Belum cukup rupanya semesta mengejekku, kali ini kabar dari kedua orang tuaku yang hendak bercerai. Apa semenyenangkan itu melihatku terluka?

Ah, memori manusia rasanya memang tidak dirancang untuk melupakan. Selama apapun peristiwa terjadi di masa lampau, aku masih mampu mengingatnya. Sebaiknya aku bersiap sebelum resepsi pernikahan mereka selesai. Aku ingin mengucapkan selamat menempuh hidup baru pada keduanya. Tak perlu bertanya dengan siapa aku datang ke resepsi pernikahan Sarah dan Adam. Karena aku masih menyembuhkan diriku. Ilusi cinta yang pernah kubuat sendiri, masih begitu menggerayangi pikiranku. 

Comments

Popular posts from this blog

Review Series: Gadis Kretek (2023)

Review Film: Petualangan Sherina 2, Membangkitkan Memori Masa Kecil

Series Celebrity di Netflix