Posts

We're Not Promised Tomorrow

Malam ini, sambil nunggu ngantuk aku nontonin video lagu dari youtube dan ikutan nyanyi. Maksudnya biar capek aja gitu, trus pengen tidur deh. Ehh, tiba-tiba muncul lagunya Meghan yang Like I'm Gonna Lose You. Bagus banget liriknya, selalu terharu tiap dengerin. Ini juga lumayan mulai berair. Makanya mau nulis di blog aja. Mumpung lagi ada dorongen hehehe. Kadang, dalam hubungan, entah dengan pasangan, teman, keluarga, ada aja masalahnya. Ada aja saat-saat bikin kesel, sedih, marah, kecewa. Tapi, pasti ada juga kan saat-saat yang bikin kita happy, ngerasa dicintai, ngerasa bermanfaat, ngerasa punya tujuan. Nah, tinggal kita aja nih mau pilih yang mana. Apakah mau merusak hubungan itu karena merasa kecewa? Atau, coba selesaikan saat ada masalah dan memilih happy lagi?  Punya hubungan dengan orang lain selain diri kita itu sulit, karena beda kepala pasti ada aja beda pemikirannya. Gak punya hubungan pun juga sulit karena bisa aja kita bakal ngerasa kesepian. Choose your hard. Back to

Berdamai dengan Kritik

Pernah gak sih ngerasa kesel ketika kita udah ngerasa ngelakuin yang terbaik, tapi ternyata cuma dapet kritikan?  We thought that we've done our best, but it's just not enough.   Sakit hati? Ngerasa gak berharga? Well... Aku mau share dikit opiniku tentang ini. Sorry sebelumnya kalo tulisan ini jauh dari EYD dan gado-gado bahasanya. Oke, jujur, aku pernah banget ngerasain ini. Aku ngerasa udah ngelakuin yang terbaik menurutku, aku mau bikin dia senang dan bangga sama aku. Tapi... nyatanya gak gitu. Dia gak ngerasa senang, malah cenderung kasih kritik. Aku, tentu aja ngerasa sedih dan gak terima waktu itu. Aku nangis di depannya. Trus dia nanya, kenapa aku malah nangis. Berdebat lah kami. Sampai akhirnya dia bilang, "emangnya kamu harus jadi orang yang paling baik? kenapa gak bisa menerima kritik?" Dang! Dari situ, aku mulai merenungi lagi. Bener juga sih. Apa salahnya emang kalo dapet kritik? Aku mulai paham, dia ngasih kritik bukan karena menilai aku buruk. Dia cuma

what's with him?

Sorry, really sorry for all the words and the actions I did that probably offend you. I know this is so childish. But trying to grow up and being an adult is not that easy. I'm still trying.  After several times were thinking about it, I just wanna let you know that I'm sorry for being so selfish. I have my own reasons, and I believe you have yours too. We may have a different belief, a different vision. But, that's supposed to be okay. I realize, I have no right to force you to do what I say, it has nothing to do with me. It's yours. Your life, your choice. You're the one that really understands what's best for you. You and I are not the same person, we have our own life. Living together for all these years, sometimes making me forget. I'm sorry if I'm crossing the line. I love you, always. That's why I wanna respect your choice. It's your decision. I believe you've already experienced so many kinds of feelings, that made you as you are.  If

"Udah Isi Belum?"

Ternyata, bener juga ya, tiba juga saatnya aku memasuki pertanyaan itu. Jadi pagi ini, sekitar jam 6 pagi, aku nganterin suamiku ke depan karena dia mau berangkat kerja. Kebetulan ada ibu-ibu lewat, berpapasan lah kami. Kemudian salah satunya bertanya, "udah isi belum?" Awalnya aku bingung mau jawab apa. Tapi sekian detik kemudian, aku jawab aja, "alhamdulillah, udah bu tadi isi nasi goreng." Kemudian ia tertawa. Ternyata ini rasanya, bahagia melihat orang lain bahagia. Uuuuwww~ By the way , aku tau kalo tiap orang punya kapasitas coping dan kadar rentannya masing-masing, tapi jangan lupa juga kalo kita bisa milih loh. Kalo bisa, latihan yuk untuk gak menyandarkan kebahagiaan diri sendiri pada orang lain, begitu pun untuk kesedihan maupun kekecewaan. Kalo bisa... Tapi kalo mau, pasti bisa sih hehehe. Lagipula, mungkin yang bertanya semacam itu juga hanya berupaya untuk akrab, atau bahkan merasa sudah akrab, jadi menurutnya oke aja untuk nanya pertanyaan itu, kapanpu

Brainstorming

Disclaimer: Tulisan ini dibuat untuk berpartisipasi sebagai anggota Grup Nulis Bareng. Topiknya adalah Environment   “Bumi yang kita tinggali ini sudah tua, sudah banyak sekali masalahnya, pencemaran udara, perubahan iklim, blablabla….” Raina mulai bosan dengan pembahasan sejenis ini. Baginya, mereka hanya sibuk mengeluh. Padahal masih banyak yang bisa dilakukan. Mengeluh memang manusiawi, tapi mengeluh tanpa beraksi itu tak begitu berarti. Sosialisasi. Hah, bisa saja mereka.  “Eh, kenapa sih lo, Rai?” tanya Windy yang melihat raut wajah Raina seperti orang yang sedang bertarung dengan roh jahat agar tidak merasuki tubuhnya. “Masih berapa lama lagi sih ini? Bosen ih.” “Dikit lagi, 30 menitan lah” “Hmm, bangunin ya WIn kalo udah kelar.” Windy tak lagi terkejut, memang ada saja aksi sahabatnya ini. Orang dengan intelektualitas tinggi sepertinya memang mudah bosan. *** Siang ini Windy dan Raina sudah setuju untuk makan siang di kantin Teknik. Setelah memohon pada Raina, ia akhirnya mau ju

Permohonan Restu Untuk Menikah

Bismillahirrahmanirrahim Bu, pak, ternyata Ratih butuh waktu 28 tahun untuk bisa tahu harta luar biasa nilainya yang Ratih punya selama ini. Dari dulu, Ratih kira semua yang ada memang sepatutnya ada. Ternyata Ratih beruntung, semua yang Ratih kira Ratih punya itu adalah hadiah, pemberian, nikmat, dan karunia. Dari sejak awal Ratih menangis saat baru berkenalan dengan dunia ini, hingga Ratih menangis saat sebesar ini, Bapak dan Ibu selalu ada. Selalu mengajari hal baik supaya Ratih tau caranya bermanfaat, bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga bagi yang lain. Terima kasih dan maaf sepertinya takkan cukup untuk membalas semua yang Ibu dan Bapak berikan untuk Ratih. Hanya Allah yang sanggup, membalas semuanya. Bu, Pak, hari ini Ratih akan menambah halaman baru dengan sosok yang Ratih cintai. Insya Allah, dia akan bantu Ibu dan Bapak ikut membimbing Ratih menjadi manusia yang bermanfaat, yang lebih baik lagi. Atas izin Allah, sungguh pernikahan ini bisa terjadi berkat peran Ibu dan Bapa

Luapan Rindu

Waktu ternyata tak selalu menjadi jaminan penyembuh luka, pelipur lara. Mungkin aku belum temukan cara melepas rindu tanpa tetesan air mata. Aku menangis bukan karena mengutuki yang telah terjadi.  Di sana baik saja, ya? Lucu sekali saat kami seolah mengkhawatirkanmu, padahal kami yang kau khawatirkan. Jika saja kami mengetahui, maka seharusnya tak perlu mencemaskan segala prasangka yang bersarang.  Aku sedang menghitung hari. Menapaki jalan yang akan kupilih. Aku tau tak mudah. Tak pernah dijanjikan-Nya berjalan mudah, tapi jika bersabar maka Ia akan selalu bersama. Kini kau tak perlu berseragam. Tapi kumohon tetaplah saksikan. Aku sedang membangun kebahagiaanku yang lainnya. Tunggu kami, berkumpul kembali.