Brainstorming

Disclaimer: Tulisan ini dibuat untuk berpartisipasi sebagai anggota Grup Nulis Bareng. Topiknya adalah Environment 

“Bumi yang kita tinggali ini sudah tua, sudah banyak sekali masalahnya, pencemaran udara, perubahan iklim, blablabla….”


Raina mulai bosan dengan pembahasan sejenis ini. Baginya, mereka hanya sibuk mengeluh. Padahal masih banyak yang bisa dilakukan. Mengeluh memang manusiawi, tapi mengeluh tanpa beraksi itu tak begitu berarti. Sosialisasi. Hah, bisa saja mereka. 


“Eh, kenapa sih lo, Rai?” tanya Windy yang melihat raut wajah Raina seperti orang yang sedang bertarung dengan roh jahat agar tidak merasuki tubuhnya.


“Masih berapa lama lagi sih ini? Bosen ih.”


“Dikit lagi, 30 menitan lah”


“Hmm, bangunin ya WIn kalo udah kelar.”


Windy tak lagi terkejut, memang ada saja aksi sahabatnya ini. Orang dengan intelektualitas tinggi sepertinya memang mudah bosan.


***

Siang ini Windy dan Raina sudah setuju untuk makan siang di kantin Teknik. Setelah memohon pada Raina, ia akhirnya mau juga makan bersama kekasih Windy. Raina bukannya tidak mendukung hubungan sahabatnya, ia hanya menyayangkan sahabatnya itu bisa terperangkap oleh bujuk rayu pria yang sudah banyak jadi bahan gosip anak-anak kampus. Namun, melihat WIndy begitu bahagia, ia tidak mampu menghalanginya.


“Eh, tumben nona hujan mau makan di sini?” ledek Surya, kekasih Windy yang jurusan Teknik Mesin.


Raina hanya membalasnya dengan senyum pura-pura dan langsung mengeluarkan bekal makan siangnya.  Nasi merah, telur mata sapi, bakso daging dengan saus blackpepper  dan beberapa potong rebusan wortel dan buncis. Makanan Windy dan Surya pun datang.


“Rai, jadi gini. Gue sama Surya kepikiran untuk ikutan kompetisi dari Kementerian Lingkungan Hidup. Temanya sih gimana inovasi anak muda dalam membantu meminimalisir kerusakan lingkungan. Nah, satu tim itu minimal harus tiga orang, maksimal bisa lima orang. Kan kita udah bertiga nih, jadi udah bisa apply nanti.”


“Wait...kita? Gue kan belum bilang mau ikutan. Lagian kayaknya gue gak ada waktu juga buat ikutan acara kayak gitu...” belum selesai Raina bicara, hingga tiba-tiba ada yang datang ke meja mereka.


“Sorry ya telat, tadi keasikan di perpus.” 


“Slow aja bro, udah makan belum? Pesen dulu deh” jawab Surya.

“Itu Guntur, temenku. Dia itu pinter banget programming, aku rasa kita bakal butuh dia.” tanpa diminta, Surya memberi penjelasan kepada Windy dan Raina.


Saat semua anggota tim sudah di meja, mereka mulai mendiskusikan rencana dan strategi mereka untuk mengikuti kompetisi. Sebab pemenangnya bisa mendapatkan dana hingga 50 juta. 


“Gimana kalo kita bikin Rumah Plastik? Bukan literally rumah dari plastik juga. Maksudnya semacam badan usaha yang difungsikan khusus untuk mengelola sampah plastik. Yaaa semacam pemulung kelas kakap hehehe. Jadi Rumah Plastik ini nantinya jadi tempat ngumpulin plastik dari hasil para pemulung maupun petugas pengelolaan sampah. Tentunya Rumah Plastik yang nantinya akan membayarkan sejumlah uang ke pihak pemulung atau petugas pengelolaan sampah, atau bahkan bisa juga perorangan langsung. Nah, sampah plastik itu nantinya dikelompokin lagi nih, supaya nanti pihak-pihak pelaku usaha yang butuh plastik untuk bahan bakunya bisa ambil dari sini. Atau misalnya ada pengrajin yang mau usaha tapi gak punya modal, bisa minjem bahan plastik buat dia kelola jadi produk baru, trus ditaro lagi deh ke Rumah Plastik. Rumah Plastik bakal punya katalog produknya juga nanti buat jualin hasil produk pengrajin itu. Intinya sih Rumah Plastik ini media banget, terminal plastik.” Rania menjelaskan idenya dengan sangat antusias.


“Menarik sih, berangkat dari kegelisahan sampah plastik yang bahkan udah penuh banget di laut ya? Nantinya Rumah Plastik ini jadi di bawah naungan KLHK gitu?” Windy menanggapi ide yang dilontarkan Raina.


Maybe, karena pasti perlu pengelolaan sampah plastik berdasarkan wilayah. Kebayangnya sih, Rumah Plastik ini bakal punya cabangnya misal di tiap pulau seenggaknya ada satu. Karena menurutku, pengelolaan sampah plastik gini tuh sebaiknya dikelola terpusat. Jadi semua wilayah punya acuan yang sama dalam mengelola sampah plastik.”


“Keren juga idenya udah tertata gitu. Aku punya ide juga, tapi masih kasar banget idenya. Jadi PLTA itu kan bisa mengubah air jadi listrik ya? Nah, barangkali air bisa juga digunakan sebagai bahan bakar kendaraan. Air kan sumber daya yang pastinya lebih banyak tersedia dan lebih murah tuh, ya cuma belum kepikiran juga sih prosesnya bakal gimana.” Surya ikut menyumbang idenya.


“Kayaknya di Jerman pernah ada deh, ilmuwan yang berhasil bikin bahan bakar sintetis dari air. Tapi alat yang digunain butuh dana yang gak sedikit. Cuma belum tau lagi sih gimana kelanjutannya.” Raina menanggapi ide Surya.


Guntur yang sejak tadi masih menyimak ide-ide menarik dari yang lain, akhirnya ingin mengutarakan idenya juga. 


“Kalo aku kepikirannya bikin program rumah pintar. Kadang kan kita suka lupa matiin lampu padahal gak dipake, sayang kan listriknya kebuang percuma. Mungkin gak cuma lampu, bisa jadi alat elektronik rumah tangga lainnya. Program rumah pintar ini tuh bisa kayak aplikasi di ponsel gitu, jadi penggunanya lebih gampang ngatur listrik di rumahnya. Hemat listrik juga bisa jadi salah satu upaya meminimalisir kerusakan lingkungan kan ya? Atau nih, biar rada ekstrim, buat program terpusat. Jadi kayak dipaksa hemat listrik gitu. Rumah dan bangunan punya jadwal pakai listrik sendiri berdasarkan kapasitas watt yang dimiliki. Misal jam 17-22 itu otomatis lampu akan mati, kecuali lampu jalan ya.”


“Trus apa yang membuat orang mau ikutan program itu? Bisa aja rumah tangga yang emang punya kemampuan dan gak ada masalah juga untuk bayar biaya listrik. Jadi mereka gak merasa memiliki kewajiban untuk menghemat listrik,” Windy menanggapi ide Guntur.


Diskusi yang menyenangkan biasanya memang membuat lupa waktu. Tak terasa sudah hampir jam 3. Surya masih ada kelas sore. Diskusi terpaksa harus ditunda. Raina mengusulkan bahwa masing-masing anggota membuat semacam bahan presentasi dulu atas ide masing-masing. Agar pada diskusi selanjutnya lebih terarah dan terkonsep.


“Nanti bikin grup chat  aja supaya lebih enak komunikasinya.” Windy mengusulkan kepada semua anggota tim, dan disepakati.


Semua kembali pada agenda masing-masing. Surya mengikuti kelas sorenya. Guntur menemui teman jurusannya untuk mengerjakan tugas kelompok. Windy memutuskan untuk pulang ke kosan karena harus memberi makan ikan kesayangannya. Sedangkan Raina memilih ke perpustakaan untuk mencari bahan referensi.


Comments

Popular posts from this blog

Review Film: Petualangan Sherina 2, Membangkitkan Memori Masa Kecil

Review Series: Gadis Kretek (2023)

Series Celebrity di Netflix